Senin, 06 Juni 2016

Penanaman Nilai Demokrasi Melalui Model Pembelajaran TTW di Sekolah Dasar

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Penanaman nilai-nilai Pancasila di dunia pendidikan memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan budi pekerti dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat serta warga negara yang baik. Namun asumsi tentang pendidikan sebagai sarana dan instrumen untuk mengalihkan ilmu pengetahuan bukan hanya telah mereduksi makna hakiki dan fungsi pendidikan, tetapi juga menyepelekan warga didik dan arah ke depan. Pendidikan sejatinya adalah untuk membangun dan mengembangkan potensi manusia agar memiliki karakter, integritas, dan kompetensi yang bermakna dalam kehidupan. Namun yang terjadi selama ini pendidikan masih terjebak pada pandangan dan praktek yang tidak membangun ruang pembelajaran yang bisa memperkaya nilai-nilai kemanusiaan, keluhuran, kejujuran, dan keadaban. Dengan demikian, sistem dan praktek pendidikan di negeri kita untuk mencerdaskan kehidupan bangsa gagal dalam membangun karakter bangsa dan kemuliaan hidup.
Pendidikan harus bisa berfungsi ikut membangun kapasitas bangsa sebagai manusia terpelajar, sehingga bisa andal dan percaya diri dalam percaturan global sekarang serta rancangan ke masa depan. Dalam konteks ini, bukan hanya kukuh dalam visi serta cita etis pendidikan yang humanis dan religius, melainkan juga pendidikan mempunyai daya dan tata kelola untuk memperkaya kehidupan yang demokratis. Nilai-nilai demokratis di sekolah perlu ditanamkan untuk menghadapi era globalisasi yang kini diyakini akan menghadirkan banyak perubahan global seiring dengan akselerasi keluar masuknya berbagai kultur dan peradaban baru dari berbagai bangsa di dunia. Itu artinya, dunia pendidikan dalam mencetak sumberdaya manusia yang bermutu dan profesional harus menyiapkan generasi yang demokratis, sehingga memiliki resistence yang kokoh di tengah-tengah konflik peradaban.  
Dalam sebuah kehidupan bermasyarakat, pasti terjadi banyak perbedaan-perbedaan yang mencolok, hal ini dikarenakan tidak ada manusia di dunia ini yang sama. Untuk itu penanaman nilai demokrasi Pancasila bagi anak SD sangat diperlukan agar mereka mengetahui budaya demokrasi bahwa perbedaan itu hal yang wajar serta tidak perlu diperdebatkan dan setiap warga negara Indonesia berhak diberi kebebasan dalam menyampaikan pendapatnya, baik pribadi maupun di muka umum.
Langkah konkret yang menarik untuk direalisasi bersama, terutama oleh insan pendidik dan pihak-pihak yang berada di dunia pendidikan adalah menciptakan ruang hidup dan praktek pendidikan sebagai sebuah kehidupan yang nyata. Seperti penanaman nilai demokrasi melalui model pembelajaran TTW di Sekolah Dasar.

1.2    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penyusun merumuskan rumusan masalah sebagai berikut:
1.        Bagaimanakah penanaman nilai demokrasi melalui model pembelajaran TTW di Sekolah Dasar?

1.3    Tujuan
            Berdasarkan rumusan masalah diatas, penyusun memiliki tujuan pembuatan makalah sebagai berikut:
1.        Untuk mengetahui penanaman nilai demokrasi melalui model pembelajaran TTW di Sekolah Dasar.










BAB 2
PEMBAHASAN

2.1    Penanaman Nilai Demokrasi melalui Model Pembelajaran TTW di Sekolah Dasar
Dalam suatu pendidikan tidak lepas dari yang namanya mendewasakan manusia. Dimana manusia (anak) tersebut diharapkan menjadi pribadi yang memiliki norma serta pengetahuan agar mampu menghadapi dunia yang senantiasa berubah. Pancasila merupakan dasar pelaksanaan pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 Bab 2 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang bunyinya: Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.  Sedangkan tujuan pendidikan di Indonesia, sesuai dengan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu mencerdasakan kehidupan bangsa. Namun cerdas tersebut bukan hanya cerdas dari segi intelektual saja, namun juga cerdas akal budi pekerti sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku serta cerdas dalam bersikap.
Disinilah Pancasila berperan dalam menciptakan rakyat Indonesia yang tidak hanya cerdas dalam segi intelektual saja, namun melalui Pancasila ini seseorang diajarkan mengenai nilai-nilai yang akan membentuk kepribadian mereka sehingga mereka cerdas dalam bersikap. Dengan adanya Pancasila ini diharapkan mampu menciptakan pribadi yang taat kepada Tuhannya, memilki rasa kemanusiaan, persatuan, kerakyatan serta mampu berlaku adil kepada semua makhluk ciptaan Tuhan.
Berdasarkan Pancasila, Pelaksanaan sila ke-4 dalam pendidikan pada hakekatnya didasari oleh sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, serta Persatuan Indonesia, dan mendasari serta menjiwai sila Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia. Hak demokrasi harus selalu diiringi dengan sebuah kesadaran bertanggung jawab terhadap Tuhan Yang Maha Esa menurut keyakinan beragama masing-masing, dan menghormati nilai-nilai kemanusiaan, serta menjunjung tinggi persatuan.
Sila ini mengajarkan kita untuk berdemokrasi, khususnya untuk bemusyawarah dengan menerima atau menyanggah pendapat orang lain. Dalam pendidikan, sila ini menjadi acuan dalam pengambilan keputusan melalui kesepakatan bersama yang akan menghasilkan mufakat bersama. Dari sisi pengetahuan, sila ini mengajarkan bahwa pengetahuan dapat diperoleh melalui suatu demokrasi yang memiliki makna tersurat yang berasal dari sila itu sendiri yaitu sila kerakyatan. Melalui demokrasi ini siswa akan diajarkan untuk berpendapat dan memperhatikan kesepakatan-kesepakatan yang telah diambil secara bersama. Dalam hal pengambilan keputusan, siswa harus dilatih memutuskan dan melaksanakan keputusan secara bertanggung jawab. Dalam mengajarkan hal ini kepada siswa, guru sebaiknya memberikan contoh dalam kehidupan sehari-hari.
Membangun pribadi yang demokratis merupakan salah satu fungsi pendidikan nasional seperti yang tercantum dalam pasal 3 UU Nomor 20/2003 tentang Sisdiknas.  Namun, beratnya beban kurikulum yang harus dituntaskan telah membuat proses belajar mengajar menjadi kehilangan ruang berdiskusi, berdialog dan berdebat, guru menjadi satu-satunya sumber belajar. Akibatnya setelah lulus mereka menjadi asing di tengah-tengah rakyat. Tidak mungkin out-put dari dunia pendidikan mampu menginternalisasi dan mengapresiasi nilai-nilai demokrasi kalau otak dan emosi mereka dijauhkan dari ruang berdialog. Mustahil mereka bisa menghargai pendapat sebagai salah satu esensi demokrasi kalau iklim belajarnya berlangsung monoton. Sehingga dunia pendidikan perlu diberi ruang yang cukup untuk membangun budaya demokrasi bagi peserta didik. Contohnya melalui model pembelajaran kooperatif, salah satunya yaitu Model pembelajaran TTW (think-talk-writing).
Secara etimologi model pembelajaran TTW (think-talk-writing). dapat diartikan sebagai berikut: “think” berfikir “talk” berbicara sedangkan “write”  menulis. Jadi “think-talk-write”  bisa diartikan sebagai berfikir, berbicara, dan menulis. Suatu strategi pembelajaran yang diharapkan dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah pembelajaran siswa adalah strategi TTW (think-talk-writing). Strategi yang diperkenalkan oleh Huinker & Laughlin (1996: 82) ini pada dasarnya dibangun melalui berfikir, berbicara, dan menulis. Alur kemajuan strategi TTW dimulai dari keterlibatan siswa dalam berfikir atau berdialog dengan dirinya sendiri setelah proses membaca, selanjutnya berbicara dan membagi ide (sharing) dengan temannya sebelum menulis. Suasana seperti ini lebih efektif jika dilakukan dalam kelompok heterogen dengan 3-5 siswa. Dalam kelompok ini siswa diminta membaca, membuat catatan kecil, menjelaskan, mendengarkan dan membagi ide bersama teman kemudian mengungkapkannya melalui tulisan.
Aktivitas berfikir think dapat dilihat dari proses membaca suatu teks kemudian membuat catatan apa yang telah dibaca. Dalam tahap ini siswa secara individu memikirkan kemungkinan jawaban (strategi penyelesaian), membuat catatan apa yang telah dibaca, baik itu berupa apa yang diketahuinya, maupun langkah-langkah penyelesaian dalam bahasanya sendiri.
Setelah tahap “think” selesai dilanjutkan dengan tahap berikutnya “talk” yaitu berkomunikasi dengan menggunakan kata-kata dan bahasa yang mereka pahami. Fase berkomunukasi (talk) pada strategi ini memungkinkan siswa untuk terampil berbicara. Menurut Huinker & Laughlin dalam Martinis (2008:86), pada umumnya berkomunikasi dapat berlangsung alami, tatapi menulis tidak. Proses komunikasi dipelajari siswa melalui kehidupannya sebagai individu yang berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Secara alami dan mudah proses komunikasi dapat dibangun di kelas dan dimanfaatkan sebagai alat sebelum menulis. Pemahaman dibangun melalui interaksinya dalam diskusi. Diskusi diharapkan dapat menghasilkan solusi atas masalah yang diberikan.
     Diskusi pada fase talk ini merupakan sarana untuk mengungkapkan dan merefleksikan pikiran siswa. Pada tahap talk, tugas guru adalah sebagai fasilitator dan motivator. Sebagai fasilitator guru senantiasa harus memberi arahan dan bimbingan kepada kelompok yang mengalami kesulitan terutama dalam hal materi, baik itu diminta maupun tidak diminta. Sebagai motivator, guru senantiasa memberi dorongan kepada siswa yang merasa kurang percaya diri terhadap hasil pekerjaannya dan atau kelompok siswa yang mendapatkan jalan buntu untuk menemukan suatu jawaban. Guru juga harus bisa memotivasi siswa yang dalam kegiatan diskusi kurang aktif atau malah sangat pasif. Guru harus memberikan semangat kepada siswa yang bersangkutan bahwa kegiatan diskusi yang sedang berlangsung adalah penting untuk dijalani, supaya mereka dapat memahaminya sendiri. 
Fase ”write” yaitu menuliskan hasil diskusi. Aktivitas menulis berarti mengkonstruksi ide, karena setelah berdiskusi antar teman dan kemudian mengungkapkannya melalui tulisan. Aktivitas menulis akan membantu siswa dalam membuat hubungan dan juga memungkinkan guru melihat pengembangan konsep siswa. Aktivitas siswa selama tahap (write) ini adalah (1) menulis solusi terhadap masalah/pertanyaan yang diberikan (2) mengorganisasikan semua pekerjaan langkah demi langkah kemudian ditindaklanjuti, (3) mengoreksi semua hasil pekerjaan (4) meyakini bahwa pekerjaannya yang terbaik yaitu lengkap, mudah dibaca dan terjamin keasliannya (Martinis Yamin, 2008: 87-88).
Tahap terakhir dari strategi TTW adalah presentasi. Hal ini dimaksudkan agar siswa dapat berbagi pendapat dalam ruang lingkup yang lebih besar yaitu dengan teman satu kelas. Presentasi ini disampaikan oleh salah seorang perwakilan kelompok yang dilakukan di depan kelas, setelah sebelumnya siswa yang bersangkutan menuliskan jawaban kelompoknya di papan tulis. Setelah selesai presentasi, kemudian dibuka forum tanya jawab dimana semua siswa berhak mengajukan pertanyaan dan atau pendapat yang sifatnya mendukung jawaban ataupun menyanggah jawaban temannya yang presentasi. Setelah tanya jawab selesai, dilakukan sebuah penyimpulan bersama tentang materi yang dipelajari.
Menurut kajian Psikologi Umum, usia anak yang paling efektif dalam melakukan pendidikan dan menanamkan karakter tertentu adalah usia enam sampai sepuluh tahun atau setara dengan usia anak siswa sekolah dasar.  Dalam rentan usia tersebut setiap pengalaman dan kejadian-kejadian yang pernah dialaminya akan menentukan bagaimana perkembangan si anak selanjutnya atau dapat dikatakan usia tersebut adalah fondasi bagi masa depan anak. Apabila fondasi yang ditanam pada si anak adalah karakter-karater yang baik maka secara otomatis karakter-karater itu akan tetap melekat dalam diri anak dalam setiap proses pendewasaanya.
Seperti yang telah dipaparkan di atas bahwa anak yang memiliki rentan usia enam sampai sepuluh tahun atau setara usia anak sekolah dasar sangat menentukan bagaimana perkembangan si anak selanjutnya. Oleh karena itu, penanaman sikap demokratis sangat penting untuk ditanamkan sedini mungkin kepada anak-anak. Penanaman dan pengenalan sikap demokratis tepat dilakukan kepada anak SD mengingat pada usia tersebut mereka memasuki fase keserasian sekolah dan lebih mudah membentuk karakter dan memasukkan ideologi yang sifatnya positif kepada anak SD.
Penanaman sikap demokratis  disesuaikan dengan karakter anak yang dididik, dalam konteks ini adalah anak usia SD. Secara umum karakteristik pembelajaran anak di Sekolah Dasar adalah:
1.        Kelas 1 dan 2 Sekolah Dasar berorientasi pada pembelajaran fakta, lebih bersifat kongret atau kejadian-kejadian yang ada di sekitar lingkungan siswa. Seperti pemberian contoh tentang sikap demokratis sederhana misalnya dalam pemilihan ketua kelas, harus memilih yang bisa bertanggung jawab dan semua anggota kelas harus setuju dan apabila tidak setuju maka akan dilakukan musyawarah lebih lanjut.
2.        Kelas 3 siswa sudah dihadapakan pada konsep generalisasi yang dapat diperoleh dari fakta atau kejadian-kejadian yang kongret, hal ini lebih tinggi dari kelas 1 dan 2. Seperti siswa sudah dapat memberikan contoh  sikap-sikap yang mencermikan demokrasi di segala aspek kehidupan.
3.        Kelas 4, 5 dan 6 atau disebut dengan kelas tinggi siswa dihadapkan pada konsep-konsep atau prinsip-prinsip penerapannya. Pada tingkat usia ini, siswa sudah dapat diberikan konsep-konsep nasionalime yang sudah lumayan tinggi dan menerapkannya dalam kehidupan mereka. Siswa sudah dapat membedakan mana sikap yang baik maupun buruk.
Kebutuhan anak SD yang suka bergerak menuntut proses pembelajaran yang dikembangkan secara interaktif. Dalam hal ini guru memegang peranan penting dalam menciptakan stimulus-respon agar siswa menyadari kejadian di sekitarnya. Agar penanaman sikap demokratis pada anak melekat dengan kuat, seorang guru harus bisa memberikan pengalaman belajar tentang demokrasi.
Misalnya, sejak SD kelas 5 seorang anak dibiasakan untuk menyampaikan pendapat didepan kelas dalam mengutarakan  jawaban atas tugas yang telah diberikan seorang guru. Secara tidak langsung, guru tersebut sudah menanamkan nilai demokrasi dan mengajarkan siswa lain untuk saling menghargai pendapat antar sesamanya. Apabila keseluruhan nilai-nilai Pancasila itu bisa dilaksanakan dengan baik maka secara bertahap kepribadian dan karakter anak akan terbentuk seiring dengan berjalannya waktu. Kebiasaan tersebut sudah merupakan bagian dari penanaman nilai demokrasi yang dilakukan sejak dini. Dengan demikian, anak tersebut kelak akan menjadi anak yang memiliki sikap demokratis.
Untuk membiasakan anak agar memiliki sikap demoratis maka diperlukan penanaman nilai-nilai sila keempat Pancasila dengan berbagai macam cara. Salah satunya yaitu dengan menerapkan model pembelajaran TTW (Think-Talk-Writing) dikelas. Misalnya, seorang pendidik/guru bisa membentuk karakter anak dengan membiasakan dan menerapkan model pembelajaran TTW berbantu kartu misterius yang diperuntukkan dikelas 5 dan kelas 6. Permainan Kartu Misterius merupakan nama dari sebuah Permainan Edukatif yang menggunakan kartu bergambar dengan tujuan agar siswa dapat memahami sebuah konsep dan mampu menjelaskan konsep tersebut secara rinci. Permainan kartu misterius yang digunakan dalam penelitian ini menunjang pembelajaran tematik. Kartu misterius merupakan permainan yang bersifat sederhana dan fleksibel. Pemainan kartu misterius dilakukan dengan cara: (1) Guru mengkondisikan siswa untuk siap mengikuti pembelajaran; (2) Setiap siswa akan dipanggil secara acak oleh guru, kemudian mengambil satu buah kartu bergambar. Siswa harus mendeskripsikan yang ada di dalam gambar tersebut kepada teman-teman lainnya sebanyak yang ia tahu. Bila tidak bisa, maka siswa lain boleh mengangkat tangan untuk menambahkan informasi pada gambar; dan (3) Setelah satu siswa selesai maka guru menunjuk siswa lain untuk maju dan mengambil kartunya.
Model pembelajaran TTW memudahkan siswa untuk mempelajari suatu pelajaran secara berurutan, sehingga terjadi proses berpikir secara ilmiah. Adanya diskusi kelompok memotivasi semangat belajar siswa. Siswa mampu mengkontruk dan mengembangkan pengetahunnya melaui ide-ide yang muncul pada dirinya yang kemudian dikomunikasikan Hal tersebut memberikan penguatan terhadap kelebihan model TTW yang dikemukakan oleh Huda (2013) yaitu. (1) Memberikan fasilitas latihan berbahas lisan dan tulis; (2) Mendorong siswa untuk berpikir dan berbicara secara kritis dan ilmiah; (3) Mengembangkan ide-ide melalui percakapan terstruktur; dan (4) Memperkenalkan kepada siswa untuk memanipulasi ide-ide sebelum menuangkan dalam tulisan.
Model TTW yang dibantu dengan permainan kartu misterius juga memberikan pengaruh terhadap hasil belajar. Permaian kartu misterius mampu mengaktifkan siswa dalam belajar, mengasah kemampuan siswa untuk berbicara, bersosial, dan merangsang rasa ingin tahu siswa untuk belajar. Hal tersebut sependapat dengan Riva (2012) yang mengungkapkan bahwa permainan kartu misterius memberikan manfaat diantaranya: (1) Melatih kemampuan motorik; (2) Kemampuan besosial meningkat; (3) Melatih keterampilan berbahasa; dan (4) Mengembangkan kemampuan problem solving.
Selain penggunaan model pembelajaran TTW berbantu kartu misterius, guru juga dapat menerapkan model pembelajaran TTW dengan metode diskusi. Peserta didik diberikan sebuah persoalan untuk diselesaikan bersama dalam diskusi kelompok. Secara tidak langsung, peserta didik akan berfikir bagaimana ia bisa memecahkan suatu masalah dari soal yang diberikan seorang  guru tadi. Setelah ia menemukan solusi permasalahan yang dianggapnya benar maka siswa tersebut akan mendiskusikan solusi permasalahan tersebut dengan kelompoknya. Dari sanalah musyawarah untuk mencapai suatu mufakat diterapkan karena berbagai ide diungkapkan untuk mencapai kesepakatan atau solusi bersama. Dalam forum diskusi kecil tersebut, siswa diharapkan mampu mengeluarkan hak untuk mengkritik temannya jika ia tidak sependapat. Akan tetapi, situasi harus tetap kondusif.  Setelah mereka mencapai suatu mufakat maka siswa tersebut harus melakukan metode selanjutnya yaitu menulis hasil diskusi yang telah disepakatkan. Dari hasil diskusi tersebut peserta didik harus bisa mempertanggung jawabkan keputusan yang diambil secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
Langkah terakhir model pembelajaran TTW yaitu peserta didik harus mempresentasikan hasil diskusi yang telah disepakati oleh kelompoknya itu ke dalam forum diskusi kelas. Presentasi ini disampaikan oleh salah seorang perwakilan kelompok yang dilakukan di depan kelas, setelah sebelumnya siswa yang bersangkutan menuliskan jawaban kelompoknya di papan tulis. Setelah selesai presentasi, kemudian dibuka forum tanya jawab dimana semua siswa berhak mengajukan pertanyaan dengan pendapat yang sifatnya mendukung jawaban ataupun menyanggah jawaban temannya yang presentasi. Setelah tanya jawab selesai, dilakukan sebuah penyimpulan bersama tentang materi yang dipelajari. Dengan begitu, maka pembelajaran dalam kelas tersebut sudah termasuk bagian dari penanaman nilai-nilai demokrasi pada siswa sekolah dasar.




























BAB 3
PENUTUP

3.1    Kesimpulan
Penanaman nilai demokrasi melalui model pembelajaran TTW di sekolah dasar adalah salah satu cara yang dapat dilakukan oleh seorang guru untuk menanamkan nilai-nilai sila keempat pancasila melalui model pembelajaran Think-talk-write (berfikir, berbicara dan menulis). Penanaman nilai demokrasi melalui model pembelajaran TTW ini dapat mengaktifkan siswa dalam belajar, mengasah kemampuan untuk berbicara, bersosial, dan merangsang rasa ingin tahu agar siswa mampu mengemukakan pendapat didepan umum. Selain itu, model pembelajaran TTW disekolah dasar juga dapat mendorong siswa untuk berpikir dan berbicara secara kritis dan ilmiah serta dapat mengembangkan ide-ide melalui percakapan terstruktur sehingga siswa kedepannya bisa berfikir kritis agar siswa bisa menjalankan musyawarah mufakat sesuai dengan nilai-nilai pancasila.

















DAFTAR PUSTAKA

.... 2010. Nilai yang Terkandung dalam Pancasila Sila Ke-4. Online

Kurniawan, Bakhrul Rizky. 2012. Analisis Pancasila Sila Ke-4. Online

.... 2013. Nilai Dasar Sila Keempat dalam Pancasila. Online

Widyastuti, Rini. 2013. Penanaman dan Penerapan Nilai-Nilai Pancasila Pada Siswa Sekolah Dasar dalam Rangka Membentuk Karakter Anak. Online






0 komentar:

Posting Komentar

Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

KOLAM IKAN

CLOCK

VISITORS

Flag Counter

about

Hello Kitty Winking Pointer

ABOUT

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © Desy Agustina Riyanto | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com