BAB
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penanaman nilai-nilai Pancasila di dunia pendidikan
memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan budi pekerti dan
pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak supaya menjadi manusia
yang baik, warga masyarakat serta warga negara yang baik. Namun asumsi
tentang pendidikan sebagai sarana dan instrumen untuk mengalihkan ilmu
pengetahuan bukan hanya telah mereduksi makna hakiki dan fungsi pendidikan,
tetapi juga menyepelekan warga didik dan arah ke depan. Pendidikan sejatinya
adalah untuk membangun dan mengembangkan potensi manusia agar memiliki
karakter, integritas, dan kompetensi yang bermakna dalam kehidupan. Namun yang
terjadi selama ini pendidikan masih terjebak pada pandangan dan praktek yang
tidak membangun ruang pembelajaran yang bisa memperkaya nilai-nilai
kemanusiaan, keluhuran, kejujuran, dan keadaban. Dengan demikian, sistem dan
praktek pendidikan di negeri kita untuk mencerdaskan kehidupan bangsa gagal
dalam membangun karakter bangsa dan kemuliaan hidup.
Pendidikan harus
bisa berfungsi ikut membangun kapasitas bangsa sebagai manusia terpelajar,
sehingga bisa andal dan percaya diri dalam percaturan global sekarang serta
rancangan ke masa depan. Dalam konteks ini, bukan hanya kukuh dalam visi serta
cita etis pendidikan yang humanis dan religius, melainkan juga pendidikan
mempunyai daya dan tata kelola untuk memperkaya kehidupan yang demokratis. Nilai-nilai
demokratis di sekolah perlu ditanamkan untuk menghadapi era globalisasi yang
kini diyakini akan menghadirkan banyak perubahan global seiring dengan
akselerasi keluar masuknya berbagai kultur dan peradaban baru dari berbagai
bangsa di dunia. Itu artinya, dunia pendidikan dalam mencetak sumberdaya
manusia yang bermutu dan profesional harus menyiapkan generasi yang demokratis,
sehingga memiliki resistence yang kokoh di tengah-tengah konflik peradaban.
Dalam sebuah
kehidupan bermasyarakat, pasti terjadi banyak perbedaan-perbedaan yang mencolok,
hal ini dikarenakan tidak ada manusia di dunia ini yang sama. Untuk itu
penanaman nilai demokrasi Pancasila bagi anak SD sangat diperlukan agar mereka
mengetahui budaya demokrasi bahwa perbedaan itu hal yang wajar serta tidak
perlu diperdebatkan dan setiap warga negara Indonesia berhak diberi kebebasan
dalam menyampaikan pendapatnya, baik pribadi maupun di muka umum.
Langkah konkret yang menarik
untuk direalisasi bersama, terutama oleh insan pendidik dan pihak-pihak yang
berada di dunia pendidikan adalah menciptakan ruang hidup dan praktek
pendidikan sebagai sebuah kehidupan yang nyata.
Seperti penanaman nilai demokrasi melalui model pembelajaran TTW di Sekolah
Dasar.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penyusun
merumuskan rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimanakah penanaman nilai demokrasi
melalui model pembelajaran TTW di Sekolah Dasar?
1.3
Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, penyusun memiliki
tujuan pembuatan makalah sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui penanaman nilai
demokrasi melalui model pembelajaran TTW di Sekolah Dasar.
BAB
2
PEMBAHASAN
2.1
Penanaman
Nilai Demokrasi melalui Model Pembelajaran TTW di Sekolah Dasar
Dalam suatu pendidikan
tidak lepas dari yang namanya mendewasakan manusia. Dimana manusia (anak)
tersebut diharapkan menjadi pribadi yang memiliki norma serta pengetahuan agar
mampu menghadapi dunia yang senantiasa berubah. Pancasila merupakan dasar pelaksanaan
pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003
Bab 2 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang bunyinya: Pendidikan Nasional
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Sedangkan tujuan pendidikan di
Indonesia, sesuai dengan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu mencerdasakan
kehidupan bangsa. Namun cerdas tersebut bukan hanya cerdas dari segi
intelektual saja, namun juga cerdas akal budi pekerti sesuai dengan nilai-nilai
yang berlaku serta cerdas dalam bersikap.
Disinilah Pancasila
berperan dalam menciptakan rakyat Indonesia yang tidak hanya cerdas dalam segi
intelektual saja, namun melalui Pancasila ini seseorang diajarkan mengenai
nilai-nilai yang akan membentuk kepribadian mereka sehingga mereka cerdas dalam
bersikap. Dengan adanya Pancasila ini diharapkan mampu menciptakan pribadi yang
taat kepada Tuhannya, memilki rasa kemanusiaan, persatuan, kerakyatan serta
mampu berlaku adil kepada semua makhluk ciptaan Tuhan.
Berdasarkan
Pancasila, Pelaksanaan sila ke-4 dalam pendidikan pada hakekatnya didasari oleh
sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, serta
Persatuan Indonesia, dan mendasari serta menjiwai sila Keadilan sosial bagi
seluruh Rakyat Indonesia. Hak demokrasi harus selalu diiringi dengan sebuah
kesadaran bertanggung jawab terhadap Tuhan Yang Maha Esa menurut keyakinan
beragama masing-masing, dan menghormati nilai-nilai kemanusiaan, serta
menjunjung tinggi persatuan.
Sila ini mengajarkan
kita untuk berdemokrasi, khususnya untuk bemusyawarah dengan menerima atau
menyanggah pendapat orang lain. Dalam pendidikan, sila ini menjadi acuan dalam
pengambilan keputusan melalui kesepakatan bersama yang akan menghasilkan
mufakat bersama. Dari sisi pengetahuan, sila ini mengajarkan bahwa pengetahuan
dapat diperoleh melalui suatu demokrasi yang memiliki makna tersurat yang
berasal dari sila itu sendiri yaitu sila kerakyatan. Melalui demokrasi ini siswa
akan diajarkan untuk berpendapat dan memperhatikan kesepakatan-kesepakatan yang
telah diambil secara bersama. Dalam hal
pengambilan keputusan, siswa harus dilatih memutuskan dan melaksanakan
keputusan secara bertanggung jawab. Dalam mengajarkan hal ini kepada siswa,
guru sebaiknya memberikan contoh dalam kehidupan sehari-hari.
Membangun pribadi yang demokratis merupakan salah satu
fungsi pendidikan nasional seperti yang tercantum dalam pasal 3 UU Nomor
20/2003 tentang Sisdiknas. Namun, beratnya beban kurikulum yang harus
dituntaskan telah membuat proses belajar mengajar menjadi kehilangan ruang
berdiskusi, berdialog dan berdebat, guru menjadi satu-satunya sumber belajar.
Akibatnya setelah lulus mereka menjadi asing di tengah-tengah rakyat. Tidak
mungkin out-put dari dunia pendidikan mampu menginternalisasi dan mengapresiasi
nilai-nilai demokrasi kalau otak dan emosi mereka dijauhkan dari ruang
berdialog. Mustahil mereka bisa menghargai pendapat sebagai salah satu esensi
demokrasi kalau iklim belajarnya berlangsung monoton. Sehingga dunia pendidikan
perlu diberi ruang yang cukup untuk membangun budaya demokrasi bagi peserta
didik. Contohnya melalui model pembelajaran kooperatif, salah satunya yaitu Model
pembelajaran TTW (think-talk-writing).
Secara etimologi model pembelajaran TTW (think-talk-writing). dapat diartikan
sebagai berikut: “think” berfikir “talk” berbicara
sedangkan “write” menulis.
Jadi “think-talk-write” bisa diartikan sebagai berfikir,
berbicara, dan menulis. Suatu strategi pembelajaran yang diharapkan dapat
meningkatkan kemampuan pemecahan masalah pembelajaran siswa adalah strategi TTW (think-talk-writing). Strategi yang diperkenalkan oleh
Huinker & Laughlin (1996: 82) ini pada dasarnya dibangun melalui berfikir,
berbicara, dan menulis. Alur kemajuan strategi TTW dimulai dari keterlibatan
siswa dalam berfikir atau berdialog dengan dirinya sendiri setelah proses
membaca, selanjutnya berbicara dan membagi ide (sharing) dengan
temannya sebelum menulis. Suasana seperti ini lebih efektif jika dilakukan
dalam kelompok heterogen dengan 3-5 siswa. Dalam kelompok ini siswa diminta
membaca, membuat catatan kecil, menjelaskan, mendengarkan dan membagi ide
bersama teman kemudian mengungkapkannya melalui tulisan.
Aktivitas berfikir “think” dapat dilihat dari proses
membaca suatu teks kemudian membuat catatan apa yang telah dibaca. Dalam tahap
ini siswa secara individu memikirkan kemungkinan jawaban (strategi
penyelesaian), membuat catatan apa yang telah dibaca, baik itu berupa apa yang
diketahuinya, maupun langkah-langkah penyelesaian dalam bahasanya sendiri.
Setelah tahap “think” selesai dilanjutkan
dengan tahap berikutnya “talk” yaitu berkomunikasi dengan menggunakan
kata-kata dan bahasa yang mereka pahami. Fase berkomunukasi (talk)
pada strategi ini memungkinkan siswa untuk terampil berbicara. Menurut Huinker
& Laughlin dalam Martinis (2008:86), pada umumnya
berkomunikasi dapat berlangsung alami, tatapi menulis tidak. Proses komunikasi
dipelajari siswa melalui kehidupannya sebagai individu yang berinteraksi dengan
lingkungan sosialnya. Secara alami dan mudah proses komunikasi dapat dibangun
di kelas dan dimanfaatkan sebagai alat sebelum menulis. Pemahaman dibangun
melalui interaksinya dalam diskusi. Diskusi diharapkan dapat menghasilkan solusi
atas masalah yang diberikan.
Diskusi pada fase “talk” ini merupakan sarana untuk mengungkapkan dan merefleksikan pikiran
siswa. Pada tahap “talk”, tugas guru adalah sebagai fasilitator dan
motivator. Sebagai fasilitator guru senantiasa harus memberi arahan dan
bimbingan kepada kelompok yang mengalami kesulitan terutama dalam hal materi,
baik itu diminta maupun tidak diminta. Sebagai motivator, guru senantiasa
memberi dorongan kepada siswa yang merasa kurang percaya diri terhadap hasil
pekerjaannya dan atau kelompok siswa yang mendapatkan jalan buntu untuk
menemukan suatu jawaban. Guru juga harus bisa memotivasi siswa yang dalam
kegiatan diskusi kurang aktif atau malah sangat pasif. Guru harus memberikan
semangat kepada siswa yang bersangkutan bahwa kegiatan diskusi yang sedang
berlangsung adalah penting untuk dijalani, supaya mereka dapat memahaminya sendiri.
Fase ”write”
yaitu menuliskan hasil diskusi. Aktivitas menulis berarti mengkonstruksi ide,
karena setelah berdiskusi antar teman dan kemudian mengungkapkannya melalui
tulisan. Aktivitas menulis akan membantu siswa dalam membuat hubungan dan juga
memungkinkan guru melihat pengembangan konsep siswa. Aktivitas siswa selama
tahap (write) ini adalah (1)
menulis solusi terhadap masalah/pertanyaan yang diberikan (2) mengorganisasikan
semua pekerjaan langkah demi langkah kemudian ditindaklanjuti, (3) mengoreksi semua hasil pekerjaan (4) meyakini bahwa pekerjaannya yang terbaik yaitu lengkap, mudah dibaca dan terjamin keasliannya (Martinis
Yamin, 2008: 87-88).
Tahap terakhir dari strategi TTW adalah presentasi.
Hal ini dimaksudkan agar siswa dapat berbagi pendapat dalam ruang lingkup yang
lebih besar yaitu dengan teman satu kelas. Presentasi ini disampaikan oleh
salah seorang perwakilan kelompok yang dilakukan di depan kelas, setelah
sebelumnya siswa yang bersangkutan menuliskan jawaban kelompoknya di papan
tulis. Setelah selesai presentasi, kemudian dibuka forum tanya jawab dimana
semua siswa berhak mengajukan pertanyaan dan atau pendapat yang sifatnya
mendukung jawaban ataupun menyanggah jawaban temannya yang presentasi. Setelah
tanya jawab selesai, dilakukan sebuah penyimpulan bersama tentang materi yang
dipelajari.
Menurut kajian Psikologi Umum, usia anak yang paling
efektif dalam melakukan pendidikan dan menanamkan karakter tertentu adalah usia
enam sampai sepuluh tahun atau setara dengan usia anak siswa sekolah dasar.
Dalam rentan usia tersebut setiap pengalaman dan kejadian-kejadian yang pernah
dialaminya akan menentukan bagaimana perkembangan si anak selanjutnya atau
dapat dikatakan usia tersebut adalah fondasi bagi masa depan anak. Apabila
fondasi yang ditanam pada si anak adalah karakter-karater yang baik maka secara
otomatis karakter-karater itu akan tetap melekat dalam diri anak dalam setiap
proses pendewasaanya.
Seperti yang telah dipaparkan di
atas bahwa anak yang memiliki
rentan usia enam sampai sepuluh tahun atau setara usia anak sekolah dasar
sangat menentukan bagaimana perkembangan si anak selanjutnya. Oleh karena itu,
penanaman sikap demokratis sangat penting untuk ditanamkan sedini mungkin kepada anak-anak. Penanaman dan
pengenalan sikap demokratis tepat dilakukan kepada anak SD mengingat pada usia
tersebut mereka memasuki fase keserasian sekolah dan lebih mudah membentuk
karakter dan memasukkan ideologi yang sifatnya positif kepada anak SD.
Penanaman sikap
demokratis disesuaikan dengan karakter anak yang dididik, dalam
konteks ini adalah anak usia SD. Secara umum karakteristik pembelajaran anak di
Sekolah Dasar adalah:
1.
Kelas 1 dan 2 Sekolah Dasar berorientasi pada
pembelajaran fakta, lebih bersifat kongret atau kejadian-kejadian yang ada di
sekitar lingkungan siswa. Seperti pemberian contoh tentang sikap demokratis
sederhana misalnya dalam pemilihan ketua kelas, harus memilih yang bisa bertanggung jawab
dan semua anggota kelas harus setuju dan apabila tidak setuju maka akan
dilakukan musyawarah lebih lanjut.
2.
Kelas 3 siswa sudah dihadapakan pada konsep
generalisasi yang dapat diperoleh dari fakta atau kejadian-kejadian yang
kongret, hal ini lebih tinggi dari kelas 1 dan 2. Seperti siswa sudah dapat memberikan
contoh sikap-sikap yang mencermikan demokrasi di segala aspek
kehidupan.
3.
Kelas 4, 5 dan 6 atau disebut dengan kelas tinggi
siswa dihadapkan pada konsep-konsep atau prinsip-prinsip penerapannya. Pada
tingkat usia ini, siswa sudah dapat diberikan konsep-konsep nasionalime yang
sudah lumayan tinggi dan menerapkannya dalam kehidupan mereka. Siswa sudah
dapat membedakan mana sikap yang baik maupun buruk.
Kebutuhan anak SD yang suka
bergerak menuntut proses pembelajaran yang dikembangkan secara interaktif. Dalam hal ini guru memegang peranan penting dalam
menciptakan stimulus-respon agar siswa menyadari kejadian di sekitarnya. Agar penanaman sikap demokratis pada anak melekat dengan kuat, seorang
guru harus bisa memberikan pengalaman belajar tentang demokrasi.
Misalnya, sejak SD kelas 5 seorang anak dibiasakan
untuk menyampaikan pendapat didepan kelas dalam mengutarakan jawaban atas
tugas yang telah diberikan seorang guru. Secara tidak langsung, guru tersebut
sudah menanamkan nilai demokrasi dan mengajarkan siswa lain untuk saling
menghargai pendapat antar sesamanya. Apabila keseluruhan nilai-nilai Pancasila
itu bisa dilaksanakan dengan baik maka secara bertahap kepribadian dan karakter
anak akan terbentuk seiring dengan berjalannya waktu. Kebiasaan tersebut sudah
merupakan bagian dari penanaman nilai demokrasi yang dilakukan sejak dini.
Dengan demikian, anak tersebut kelak akan menjadi anak yang memiliki sikap
demokratis.
Untuk membiasakan
anak agar memiliki sikap demoratis maka diperlukan penanaman nilai-nilai sila
keempat Pancasila dengan berbagai macam cara. Salah satunya yaitu dengan
menerapkan model pembelajaran TTW (Think-Talk-Writing)
dikelas. Misalnya, seorang pendidik/guru bisa membentuk karakter anak dengan membiasakan dan
menerapkan model pembelajaran TTW berbantu kartu misterius yang diperuntukkan dikelas
5 dan kelas 6. Permainan Kartu Misterius merupakan nama dari sebuah
Permainan Edukatif yang menggunakan kartu bergambar dengan tujuan agar siswa
dapat memahami sebuah konsep dan mampu menjelaskan konsep tersebut secara
rinci. Permainan kartu misterius yang digunakan dalam penelitian ini menunjang
pembelajaran tematik. Kartu misterius merupakan permainan yang bersifat
sederhana dan fleksibel. Pemainan kartu misterius dilakukan dengan cara: (1)
Guru mengkondisikan siswa untuk siap mengikuti pembelajaran; (2) Setiap siswa
akan dipanggil secara acak oleh guru, kemudian mengambil satu buah kartu
bergambar. Siswa harus mendeskripsikan yang ada di dalam gambar tersebut kepada
teman-teman lainnya sebanyak yang ia tahu. Bila tidak bisa, maka siswa lain
boleh mengangkat tangan untuk menambahkan informasi pada gambar; dan (3)
Setelah satu siswa selesai maka guru menunjuk siswa lain untuk maju dan
mengambil kartunya.
Model
pembelajaran TTW memudahkan siswa untuk mempelajari suatu pelajaran secara
berurutan, sehingga terjadi proses berpikir secara ilmiah. Adanya diskusi
kelompok memotivasi semangat belajar siswa. Siswa mampu mengkontruk dan
mengembangkan pengetahunnya melaui ide-ide yang muncul pada dirinya yang
kemudian dikomunikasikan Hal tersebut memberikan penguatan terhadap kelebihan
model TTW yang dikemukakan oleh Huda (2013) yaitu. (1) Memberikan fasilitas
latihan berbahas lisan dan tulis; (2) Mendorong siswa untuk berpikir dan
berbicara secara kritis dan ilmiah; (3) Mengembangkan ide-ide melalui
percakapan terstruktur; dan (4) Memperkenalkan kepada siswa untuk memanipulasi
ide-ide sebelum menuangkan dalam tulisan.
Model TTW yang dibantu dengan permainan kartu misterius juga
memberikan pengaruh terhadap hasil belajar. Permaian kartu misterius mampu
mengaktifkan siswa dalam belajar, mengasah kemampuan siswa untuk berbicara,
bersosial, dan merangsang rasa ingin tahu siswa untuk belajar. Hal tersebut
sependapat dengan Riva (2012) yang mengungkapkan bahwa permainan kartu
misterius memberikan manfaat diantaranya: (1) Melatih kemampuan motorik; (2)
Kemampuan besosial meningkat; (3) Melatih keterampilan berbahasa; dan (4)
Mengembangkan kemampuan problem solving.
Selain penggunaan model pembelajaran TTW berbantu kartu misterius, guru
juga dapat menerapkan model pembelajaran TTW dengan metode diskusi. Peserta
didik diberikan sebuah persoalan untuk diselesaikan bersama dalam diskusi
kelompok. Secara tidak langsung, peserta didik akan berfikir bagaimana ia bisa
memecahkan suatu masalah dari soal yang diberikan seorang guru tadi. Setelah ia menemukan solusi
permasalahan yang dianggapnya benar maka siswa tersebut akan mendiskusikan
solusi permasalahan tersebut dengan kelompoknya. Dari sanalah musyawarah untuk
mencapai suatu mufakat diterapkan karena berbagai ide diungkapkan untuk
mencapai kesepakatan atau solusi bersama. Dalam forum diskusi kecil tersebut,
siswa diharapkan mampu mengeluarkan hak untuk mengkritik temannya jika ia tidak
sependapat. Akan tetapi, situasi harus tetap kondusif. Setelah mereka mencapai suatu mufakat maka
siswa tersebut harus melakukan metode selanjutnya yaitu menulis hasil diskusi
yang telah disepakatkan. Dari hasil diskusi tersebut peserta didik harus bisa
mempertanggung jawabkan keputusan yang diambil
secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat
manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
Langkah
terakhir model pembelajaran TTW yaitu peserta didik harus mempresentasikan
hasil diskusi yang telah disepakati oleh kelompoknya itu ke dalam forum diskusi
kelas. Presentasi ini disampaikan oleh salah seorang perwakilan kelompok yang
dilakukan di depan kelas, setelah sebelumnya siswa yang bersangkutan menuliskan
jawaban kelompoknya di papan tulis. Setelah selesai presentasi, kemudian dibuka
forum tanya jawab dimana semua siswa berhak mengajukan pertanyaan dengan pendapat yang sifatnya mendukung jawaban ataupun
menyanggah jawaban temannya yang presentasi. Setelah tanya jawab selesai,
dilakukan sebuah penyimpulan bersama tentang materi yang dipelajari. Dengan begitu, maka pembelajaran dalam kelas tersebut
sudah termasuk bagian dari penanaman nilai-nilai demokrasi pada siswa sekolah
dasar.
BAB
3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Penanaman nilai demokrasi melalui model pembelajaran TTW di sekolah dasar adalah salah satu cara
yang dapat dilakukan oleh seorang guru untuk menanamkan nilai-nilai sila
keempat pancasila melalui model pembelajaran Think-talk-write (berfikir, berbicara dan menulis). Penanaman nilai
demokrasi melalui model pembelajaran TTW ini dapat mengaktifkan
siswa dalam belajar, mengasah kemampuan untuk berbicara, bersosial, dan
merangsang rasa ingin tahu agar siswa mampu mengemukakan pendapat didepan umum.
Selain itu, model pembelajaran TTW disekolah dasar juga dapat mendorong
siswa untuk berpikir dan berbicara secara kritis dan ilmiah serta dapat
mengembangkan ide-ide melalui percakapan terstruktur sehingga siswa kedepannya
bisa berfikir kritis agar siswa bisa menjalankan musyawarah mufakat sesuai
dengan nilai-nilai pancasila.
DAFTAR
PUSTAKA
.... 2010. Nilai yang Terkandung dalam
Pancasila Sila Ke-4. Online
https://berbagizone.wordpress.com/2010/10/09/nilai-yang-terkandung-dalam-sila-ke-4-pancasila/, diakses pada tanggal 11 November 2015
Kurniawan, Bakhrul Rizky. 2012. Analisis
Pancasila Sila Ke-4. Online
http://bakhrul-25-rizky.blogspot.co.id/2012/03/analisis-pancasila-sila-keempat.html,
diakses pada tanggal 11 November 2015
.... 2013. Nilai Dasar Sila Keempat
dalam Pancasila. Online
http://www.pusakaindonesia.org/nilai-dasar-sila-keempat-dalam-pancasila/, diakses pada tanggal 11 November 2015
Widyastuti,
Rini. 2013. Penanaman
dan Penerapan Nilai-Nilai Pancasila Pada Siswa Sekolah Dasar dalam Rangka
Membentuk Karakter Anak. Online
http://blog.uad.ac.id/rini12005019/2013/11/07/dasar-pendidikan/,
diakses pada tanggal 11 November 2015
0 komentar:
Posting Komentar